Sunday, August 21, 2011

Perbedaan Garuda dengan Maskapai lain


Bukan lah kapasitas saya untuk menceritakan atau menjelaskan perbedaan burung-burung seperti judul di atas karena memang bukan burung secara harfia lah yang saya maksud. Artikel saat ini adalah saat saya harus menceritakan cerita "burung besi" yang berterbangan di langit Indonesia. Cerita tentang maskapai penerbangan yang ada di Indonesia. Tidak ada maksud mengecilkan perusahaan milik bangsa karena saya sangat cinta Indonesia. Anggaplah ini sebuah curhat atau bisa disebut kritik yang bisa mendewasakan dan makin di cintai publik. Hal ini juga berdasarkan pengalaman saya selama masa 4 tahun terbang bersama Garuda dan maskapai yang lain dalam kerjaan saya yang harus ke lokasi-lokasi kerja di hampir seluruh Indonesia.

Dasarnya saya hanya mau mengkomper atau membandingkan maskapai Garuda Indonesia Airlines dan maskapai yang lain. Saya tidak bisa menyebut secara spesifik maskapai yang lain itu karena saya beranggapan yang lain itu adalah sama. Dan parameter penilaian saya ada lah bukan soal teknologi pesawat yang mereka pakai tapi nilai sebuah service atau pelayanan terhadap konsumen. Parameter ini lah yang sangat sensitif bagi para penumpang. Kalau soal teknologi, jenis pesawat, atau pilot nya, saya yakin 90 persen penumpang tidak akan protes (atau tidak mengerti). Yang penting bagi mereka adalah selamat dan sampai tempat tujuan.

Garuda itu mahal. Betul,tepat sekali. Tiket Garuda itu mahal. Itu tidak bisa di pungkiri. Zaman yang semakin susah ini membuat masyarakat berpikir ulang untuk membeli tiket pesawat Garuda. Harga tiket Garuda bisa 2 kali lipat dari harga maskapai yang lain. Ya, 2 kali lipat bahkan 3 kali lipat. Padahal dengan harga ekonomi Garuda, konsumen bisa mendapatkan kelas bisnis maskapai yang lain. Kelas di mana penumpang mendapatkan "perhatian" lebih. Duduk di depan, ada sandaran kaki, dapat welcome drink, lap basah untuk menyeka muka, makanan kecil dan hal lain yang akan datang bertubi-tubi selama penerbangan. Benar-benar menyenangkan. Tapi bagi masyarakat kecil itu hanya mimpi. Yang penting bagi mereka adalah naik pesawat. Dan hal itu bukan mimpi lagi. Tiket pesawat selain Garuda semakin murah dan jasa transportasi udara bukan lah jasa yang mahal lagi.

Perbedaan bermula dari cara membeli tiket. Ada 3 cara membeli tiket pesawat. Lewat agen resmi maskapai itu sendiri atau melalui agen-agen perjalanan yang bertebaran di kota2 dan melalui internet dengan web site yang mewakili maskapai itu sendiri. Perbedaan yang terjadi saat kita membeli di agen resmi menurut saya adalah 'profesional' an dalam menghadapi konsumen. Ada perasaan lain saat saya berhadapan dengan para Costumer Service (CS) nya. Di Garuda, senyum nya berasa tulus di sertai gestur tubuh yang membungkuk memberi hormat dengan tangan di depan dada. Mengucapkan salam dan tidak terburu-buru atau sibuk sendiri. Di biarkannya kita menyampaikan rencana tiketnya,dengan mata tetap menatap kita. Seolah seorang ibu yang sedang mendengarkan keinginan anaknya.Benar-benar konsen. Maskapai lain sebenarnya melakukan hal yang sama. Tapi; Senyumnya sedikit, hormatnya sedikit, salamnya sedikit, to the point. Mengenyampingkan dia sibuk atau tidak, tapi ketergesaan itu membuat calon penumpang frustasi untuk menyampaikan apa yang dia mau. Apalagi dia harus bepikir extra apabila jadwal atau tiket yang dia harapkan habis atau mahal. Tatapan menunggu dari CS untuk sebuah keputusan membuat konsumen seperti di ujung tanduk.

Cerita membeli tiket di internet tidak terlalu membuat persaingan. Sama-sama melayani pemesanan on-line dengan cara memasukan asal dan tujuan penerbangan, tanggal, berapa jumlah penumpang. Maka akan keluar hasil berupa alternatif penerbangan dengan bermacam-macam jam terbang dan harga tentunya. Rasanya semua sama terlepas koneksi kita lelet atau kencang. Hal yang membuat saya beda adalah tampilan website nya. Kalau saya urutkan secara pribadi siapa the best dalam tampilan dan kemudahan berinteraksi, Air Asia juaranya. Disusul Lion Air, dan Garuda. Untuk Batavia dan Mandala, interface nya sama. Dan saya paling tidak suka dengan website Sriwijaya Air. Sedih juga secara saya adalah orang Palembang. Tapi untuk pemesanan lewat internet saya rasa hanya bisa di nikmati masyarakat kelas menengah ke atas. Karena ada hal yang wajib kita punya. Pertama, harus mengerti internet. Kedua, harus punya kartu kredit atau kartu debit. Hal-hal tersebut memang belum merambah ke masyarakat bawah tapi saya yakin syarat-syarat di atas cepat atau lambat bukan hal yang luar biasa lagi dan pembelian on line bisa melejit menjadi alternatif pertama secara masyarakat kita yang cenderung mencari kepraktisan.

Mau bertaruh siapa cepat terhubung dengan customer service antara Garuda dan Maskapai lain? Lebih baik jangan. Yang memilih Garuda jelas menang. Sama-sama menggunakan sistem telepon ber sub level. Artinya setelah menelepon nomor utama, akan terdengar suara merdu si mbak elektronik yang mengarahkan kita menekan tombol sesuai keperluan. Kebanyakan level nomor itu berisi informasi yang secara baku sudah di siapkan suaranya (semerdu mungkin). Tapi saat kita membutuhkan manusia yang sebenarnya, di sini lah perbedaannya. Setelah berhasil menemukan tombol yang harus ditekan untuk berbicara dengan service officer atau petugas pelayanan, menunggu tersambung adalah perbedaan pertamanya. Garuda secara cepat akan tersambung dan maskapai lain sampai suara permintaan "bersabar dan menunggu" berulang, kita masih akrab dengan gagang telepon yang setia menempel di pipi. Setelah tersambung, perbedaan kedua dimulai. Garuda service officer dengan ramahnya mengizinkan kita "curhat" dan benar-benar di dengarkan. Tidak pernah sekalipun ada percakapan terinterupsi seperti yang terjadi di gedung DPR. Satu gudang kata-kata yang kita siapkan, tidak akan tertinggal 1 huruf pun karena mereka memberi waktu sepenuhnya buat kita. Maskapai lain sebenarnya sama. Tapi yang saya rasakan ketidak nyamanan. Masih sama kasusnya dengan sebelumnya. Ketergesaan. Percakapan di kuasai sepenuhnya oleh petugas di sana. Celah berbicara sangat sempit dan berasa sekali kalau percakapan itu ingin di akhiri. Perbedaan ketiga adalah suasana. Coba dengarkan saat kita sedang berbicara dengan service officer garuda, suasana nya sangat sepi, dan suara sangat jelas. Bahkan suara ketikan keyboard nya pun samar terdengar. Bandingkan dengan maskapai lain. Pernah suatu waktu suasananya seperti pasar pagi. Bunyi printer, suara CS di sebelahnya yang sedang melayani konsumen juga. Ada teriakan yang mencari dokumen yang hilang. Seru sekali.

Soekarno - Hatta International Airport. Air port yang dulu sempat menjadi air port terbesar di asia, terletak di Cengkareng. Sekarang mempunyai 3 teminal penerbangan. Terminal 1 untuk maskapai selain Garuda, terminal 2 khusus garuda dan pesawat dari maskapai luar negeri dan terminal 3 untuk urusan haji serta beberapa maskapai dalam negeri untuk rute domestik. Saya tidak terlalu heran kenapa Garuda mendapatkan 1 terminal utuh untuk mengontrol pesawat-pesawatnya. Dan maskapai yang lain harus rela berdesakan untuk menerima penumpang dalam 1 terminal. Secara langsung atau pun tidak pemerintah mempunyai campur tangan atas pesawat-pesawatnya. Ditambah lagi dengan ada nya penerbangan luar negeri yang notabene akan membawa nama baik Indonesia.

Suasana Terminal 1 saat Peak Season

Saat akan check-in dengan menggunakan pesawat non garuda, terminal 1 menyambut penumpang dengan sesaknya tempat. Mulai penumpang, pengantar sampai calo. Butuh waktu untuk menyadari status mereka masing-masing. Jika saat itu peak season atau saat sibuk (week end, libur sekolah, hari raya agama atau hari libur kejepit yang bergabung dengan week end), akan terjadi penumpukan dan antrian yang berjubel di depan terminal 1. Kita harus nrimo dan sabar. Bagi saya itu bukan perbedaan. Prinsip ekonomi yang ku karang sendiri adalah ada murah ada konsumen.

Terminal 2 menyajikan suasana yang lebih kalem. Masuk ke terminal dua bagai masuk ke atmosfir elegan. Jarang sekali ku lihat pengantar yang berbondong-bondong. Penumpang datang sendiri dengan status menengah ke atas, pakaian fashionable, harum dan pandangan lurus ke depan. Kesombongan memegang teguh strata masing-masing. Tak jarang di terminal 2 ini bagai layar tv yang menayangkan acara gala selebritis. Ya, artis dan pejabat nomor wahid berseliweran siap pergi demi menunjang karir mereka. Para bule-bule bertebaran setelah menaruh uangnya di Indonesia dengan liburannya atau merampok uang Indonesia dengan bisnisnya.

Check-in Counter di Terminal 1

Di terminal 1, sepanjang meja check in, berupa-rupa counter yang terpampang. Penumpang harus tahu jiwa dan raga pesawat apa yang akan di naiki, dan kota tujuan yang akan di datangi. Tak ada guide yang akan mengarahkan kita ke meja mana kita harus check-in. Jeli melihat papan atau layar informasi di atas meja counter atau kita akan kebingungan. Pernah saya mencoba bertanya ke bapak security yang gagah di sana tentang di mana meja check-in pesawat saya, jawabannya "sebelah sana". Dan sebelah sana yang dia tunjuk bukanlah lokasi yang aku tuju. Setelah dapat pun, siap-siap antri dengan gaya jaman revolusi antrian beras. Sedikit sekali yang manganut paham antri. Sodok dan cuek. Beberapa kali kulihat urat tenggorokan menegang saat penumpang-penumpang itu mengumbar kemarahan karena posisi nya di sodok. Begitu face to face dengan petugas check in nya, kita sedikit tenang tapi tidak membuat rileks. Ke tidak rileks-an di perparah dengan orang yang mengantri di belakang berdiri terlalu dekat dekat. Padahal ada garis antri yang berada 1 meter di belakang meja. Saya hanya selalu membawa 1 tas yang akan masuk bagasi tapi proses check-in paling top kalau bisa tembus di bawah angka 5 menit. Saya selalu perhatikan gesture mereka saat bekerja. Kelihatan sibuk mengetik, mencetak stiker, mencentang list dan sungguh mereka lakukan dengan gerakan tergesa. Lalu kenapa mereka begitu lama? Ya, karena tergesa-gesa itu lah membuat mereka jadi lama. Juga saya menyalah kan sistem mereka yang payah. Mungkin juga sudah jadul. Sering lama menatap komputer yang sedang berusaha menunjukkan informasi yang dia mau. Kalau tidak berhasil, dia akan merseru " aduh..rusak lagi". Saya juga mencatat, petugas officer itu tidak pernah konsen melayani penumpang yang ada di depannya. Sering kali mereka berbicara dengan teman sebelahnya atau entah petugas dari mana tentang hal kerjaan tapi tak ada hubungan dengan penumpang yang sedang di layaninnya.

Garuda Check - In

Garuda sangat beruntung memiliki terminal khusus. Sepanjang meja check-in terminal 2 adalah milik garuda semua. Kalau tidak salah dulu Garuda masih menggunakan sistem check-in berdasarkan kota tujuan tapi 2-3 tahun belakangan mereka menerapkan general check in. Penumpang bebas ke meja mana yang mereka mau atau meja yang antriannya tidak panjang. Tapi sebelum nya Garuda menyediakan fasilitas ikat tas bagasi. Saya menerka sebenarnya hal ini lebih ke arah identifikasi bagasi saja. Rasanya dengan tali sekecil itu tidak sepadan dengan tas penumpang yang kadang sama besarnya dengan penumpang itu sendiri. Setelah selesai, pilih antrian mana suka. Antrian selalu rapi. Batas antrian 1 meter di belakang meja check in selalu di hormati. Sangat berefek baik dengan kinerja petugas di sana. Rata-rata kecepatan check in di Garuda adalah 3 menit dengan melayani 1 penumpang 1 bagasi. Pelayanan penuh keramahan dan percakapan ringan menanyakan maksud tujuan kita ke kota itu serasa pelayanan check in di resort. Catatan ku juga mengatakan kalau gerakan kerja mereka lebih pelan dari petugas check in dari maskapai lain tapi mengapa mereka lebih cepat? Apa karena petugas Garuda lebih senior (baca: lebih tua) daripada maskapai lain yang lebih junior (baca: lebih muda). Entah lah tapi itulah faktanya.

Sekarang kita beralih ke boarding room atau ruang tunggu pesawat. Disinilah puncak segala pelayanan di pertaruhkan. Tidak elok menceritakan perbedaan ruang tunggu antara terminal 1 dan 2. Dan rasa-rasa nya pun sama. Maskapai non garuda sering kali pesawatnya delay atau di tunda ke berangkatannya. Tidak main-main, dalam satuan jam. Biasanya pengumuman delay itu di awali dengan permintaan maaf dan alasan operasional. Delay setengah jam adalah janji surga pada awalnya. Penumpang masih bisa relaks. Bahkan melewati masa setengah jam, penumpang masih diam. Setelah satu jam, penumpang mulai mempertanyakan keterlambatan itu. Entah sudah di trainning sebelumnya atau tidak, para petugas maskapai di ruangan itu rasanya sudah sangat terlatih untuk memodifikasi alasan se elegan mungkin. Hingga penumpang pasrah. Pengumuman bertubi-tubi datang menjelaskan tentang penambahan masa delay jam ke jam. Marah, kesal, pasrah, teriak, diam. Bahkan ada yang menangis dan bisa saya pastikan penumpang itu sudah kehilangan momen penting dalam hidupnya di karenakan keterlambatan itu. Bagai anak kecil, penumpang dilunakkan emosinya dengan di beri roti yang tidak jelas isi nya dan air mineral kemasan gelas. Pengalaman saya terburuk dalam delay adalah 5 jam. Mungkin ada di antara kalian yang mengalami hal lebih parah dari yang saya alami. Hal diatas adalah suasana saat terjadi delay saja. Kadang mereka on time juga tapi sangat jarang.

Garuda bukannya tidak pernah delay. Pernah tapi jarang. Delay setengah sampai 1 jam yang paling sering. Itu pun sebagian besar sudah di beritakan saat kita check in. Jadi kita sudah bisa berencana mau ngapain di masa delay ini. Mau pulang dulu atau makan dulu, semua bisa di atur. Jadi kalau saya berencana menggunakan Garuda, saya harus on-time. Kalau maskapai yang lain juga harus ontime, kalau tidak tiket kalian hangus.

Ya, ada hal lain di maskapai selain garuda. Jikalau kita telat 5 menit saja dari masa tutup check-in (biasanya 1 jam dari waktu take off pesawat), tiket di anggap hangus. Kerugian sekali bagi calon penumpang itu. Agar tetap bisa terbang, dia harus membeli kembali tiket yang hangus itu dengan harga yang ajib-ajib. Trus bagaimana kompensasi dengan waktu delay yang di akibatkan oleh maskapai itu, apakah kue yang tak jelas isi nya itu bisa membayar kerugian para penumpang? Hmmmm.... Maskapai yang aneh..

Kelebihan Garuda yang menurut ku asyik adalah Garuda mengeluarkan kartu Garuda Frequent Flyer (GFF). Dengan kartu ini para penumpang mendapatkan beberapa keuntungan. Mau tau, buka web site nya aja deh. Yang pasti ku ingat adalah program pengumpulan poin. Setiap kali terbang, kita akan mendapat poin sesuai jarak terbang kita. Semakin jauh maka semakin banyak pula point yang akan kita dapat dan point-point itu dapat kita tuker dengan barang atauuu...tiket gratis. Asyik kan...

Menuju ke dalam pesawat. Dengan berat hati Garuda unggul (lagi) dalam hal ini. Saat waktu boarding di umumkan, penumpang akan masuk sesuai dengan bagiannya. Di boarding pass penumpang tertera sticker warna yang bertulisan front row, mid row, rear row. Penumpang rear akan masuk duluan kemudian mid dan terakhir front. Cepat dan teratur sekali masuknya. Maskapai lain tidak memiliki fasilitas itu. Begitu pengumuman boarding di umumkan, serta merta mereka ingin masuk duluan seolah-olah takut di tinggal pesawat. Alhasil kemacetan seperti jalan sudirman Jakarta berpindah di dalam pesawat.

Pramugari Lion Air
Pramugari Air Asia

Didalam pesawat. Ehm, Garuda harus mengakui pasukan pramugari maskapai lain. Dari tampilan nya, maskapai lain mempunyai pramugari yang seolah lulusan elite model school. Muda, tinggi cantik. Sekejab kita melupakan kekesalan delay yang terjadi karena wajah-wajah bening tadi. Tapi. Hanya sekejab. Kenapa? Mereka hanya sedap di pandang mata tapi tidak bisa diterima di hati. Pandangan mereka sombong. Entah apa yang mereka sombongkan. Kecantikan atau karena ge-er menjadi pusat perhatian. Tidak ada senyum tulus bahkan tidak tersenyum. Ini fakta. Keterampilan mereka melayani penumpang masih harus belajar lagi. Pernah suatu waktu, seorang pramugarinya berkata ketus kepada ibu tua yang bingung menaruh tas nya. Saya tahu ibu ini dari desa dan mungkin baru pertama kali naik pesawat. Bukannya di pahami, malah makin di tindas atas kebingungan ibu itu. Sudahlah, jadilah pramugari itu makanan empuk emosi ku. Ku permalukan pramugari itu di depan penumpang lain. Puaslah hati ku...

Pramugari Garuda

Pasukan Garuda tidak usah berkecil hati. Walau sudah tidak muda lagi (tua rasanya terlalu sarkasme), tapi profesionalisme kerjanya, dua jempol terangkat. Senyum yang elegan dan pemilihan kata-kata yang membuat penumpang terhipnotis mengikuti maunya pramugari itu. Rasanya mereka lebih cantik dari pramugari maskapai lain.

Pemaparanku di atas adalah sah dan meyakinkan atas pengalamanku bersama mereka bertahun-tahun. Kita juga harus realistis. Mungkin saja perbedaan itu terjadi karena perbedaan harga tiket hingga Garuda dapat mengoptimalkan kinerjanya. Juga bantuan pemerintah atas Garuda dengan bantuan biaya dan segala fasilitasnya. Tapi bagiku pelayanan adalah pelayanan. Perusahaan jasa harus kena di hati konsumennya. Sekarang berpulang kepada anda semua mau memilih maskapai mana. Semua ada plus minus nya.

5 comments:

  1. keren..
    tapi spesifikasi pesawatnya ga ada nih,
    biar tau mana yang bagus mesiinya. haha :p

    ReplyDelete
  2. Yap...saya juga berpendapat sedikit berbeda dengan apa yg dituliskan diatas. Tapi pendapat saya lebih baik (bukan tidak netral, namun pengalaman memang seperti itu). Garuda lebih baik dalam segala skor. Mengenai harga, saya tidak sependapat kalau mahal. Berapa banyak kursi yg disediakan dalam satu pesawat untuk harga tiket murah di airline lain? Secara umum, tiket murah yg anda dapatkan disubsidi penumpang lain disebelah anda hehe. Coba sekali2 bertanya sama penumpang sebelah 2 atau 3 orang...jawabannya pasti berbeda. Tiket garuda mahal? Hmmm...ga juga. Saya flight dengan garuda setiap 40 hari (6 kali flight...landing dan terbang) setahun bisa hampir puluhan kali...glek! jujur saya takut terbang skrg :(.. Untuk tujuan luwuk - palembang teman membayar rata2 pada lion air 3,5jt. Saya rata2 2,5jt dgn garuda. Pernah 1.8jt promo. Untuk apa membayar mahal dgn kualitas dan resiko kelaparan di jalan? Hehe. Saran saya, rencanakan perjalanan anda sebaiknya. Buka website airline sebagai pembanding. Kadang bedanya tidak jauh. Contoh selain diatas, lampung jkt garuda 450 - 550rb. Dengan lion air, harga sama plus tas dibanting pramugari (terakhir kali saya naik lion...dah antipati...kecuali kepaksa kali yaa...haha gak konsist :p ). Kemarin kartu debit saya terdebet 2 kali. Jadi 2 kali issued. Baru sadar di email kok ada 2 tiket tujuan sama? Wah, panik....eh sama garuda tiket tsb tidak hilang dan diganti dengan tiket baru tujuan mana saja dengan selisih dikembalikan. Kalo di lion? Salahmu dewe hehe. Dulu, sebelum dilayani garuda...lion belagak kasi harga 1,4 jt tujuan mks-lwk. Sekarang terjun bebas. Cuma sriwijaya yg drdulu kasi harga stabil. Gara2 garuda, harga lion terjun bebas hehehe( trims ya bro). Harga garuda stabil di 735rb - 1,1 jt. Total armada (by wiki), garuda indonesia 123 armada. Hanya ada 1 B734, 1 B735, sisanya B738 NG, ATR, CRJ. Untuk 777, 330, 747 rute luar. Lion air 100 armada campuran 738, 739, ATR. Keduanya airline banyak yg dalam pesanan. Saya pilih garuda, selain milik bangsa sendiri faktor safety menjadi pertimbangan. Garuda bisa sperti lion dengan menambah jumlah armada dan rute lebih banyak. Harga akan ngikutin ntar. Tapi kualitas terjaga..harus!. Selain garuda, saya pilih sriwijaya air...selain namonyo milik wong kito, kata teman yg bekerja di GMF....sriwijaya patuh pada standar maintenance dan kelayakan dari Boeing walau pesawatnya sdh berumur. Namun, anda menentukan...semakin banyak airliner, pilihan terbang dengan harga terjangkau semakin banyak pula. Bravo penerbangan Indonesia!

    ReplyDelete
  3. keren pembahasannya, Anda cocok lho jadi penulis. Teruslah menulis yah!

    ReplyDelete